ini cerpen pertamaku gara2 tugas B.indonesia.. :v
tapi aku seneng, karna jujur aja aku hobby membaca dan menulis..
kritik dan sarannya aku tunggu lohh..
btw makasih udah mau mampirr.. :D
tapi aku seneng, karna jujur aja aku hobby membaca dan menulis..
kritik dan sarannya aku tunggu lohh..
btw makasih udah mau mampirr.. :D
GURIHNYA HIDUP
DALAM SEMANGKUK BAKSO
Karya : Anggi Irma W.
Surya bangkit dari
peraduan, sinarnya merobek kegelapan malam, pertanda telah dimulainya hari
baru. Dering beker terdengar menggelegar didalam kamar besar bernuansa biru
yang dihiasi ornamen serba bola dengan lambang Madrid. Sebuah tangan menghantam
beker itu membuatnya tak lagi berkutik, sekejap pria pemilik tangan itu bangkit
dan melenggang ke kamar mandi didalam kamar itu, tak lama ia kemudian
menghambur keluar dan langsung menyambar tas yang tergeletak diatas meja kayu
dipojok ruangan itu, digandengnya tas itu seraya ia terus melangkah menyusuri
lantai menuju sebuah kamar yang didalamnya tergeletak wanita tua yang sedang
disuapi wanita paruh baya.
“Biar saya saja bi yang
nyuapin”, tukas pria itu.
“Baik Raden”, ucap perempuan itu seraya menyerahkan semangkuk
bubur.
“Belum berangkat kamu nak?
Uhuk.... uhuk.....”
“Belum bu.. Difa mau nemenin ibu dulu.”
Pria yang akrab disapa Difa itu adalah anak tunggal di keluarga
yang tergolong kaya raya, ibunya sudah dua tahun ini sakit chepalgia yang
membuatnya hanya bisa berbaring di ranjang dan duduk di kursi roda, ayahnya
adalah salah seorang pimpinan disalah satu Bank sentral di kota Semarang ini.
Difa sendiri dalam 6 hari selama seminggu mengenyam pendidikan di SMA ANAK
INDONESIA, ia duduk di kelas 3, ia terkenal siswa yang pandai, rajin dan
teladan bagi teman-temannya.
Beberapa minggu ini ibunya semakin parah hingga ia harus dirawat di
Rumah Sakit, sejak saat itu Difa tinggal di Rumah Sakit karena Difa tak bisa
jauh dari ibunya, dia sangat menyayangi ibunya, ayahnya setip pulang dari
kantor pun menjenguk istrinya itu. Penyakit yang menggerogoti tubuh ibunya itu
lama-lama semakin parah dan sampai membuat mobil serta rumah mereka melayang demi membiayai
pengobatannya. Difa dan ayahnya kini
tinggal di rumah sederhana di pinggiran kota. Sampai pada suatu hari ibunya tak
lagi mampu bertahan, ibunya meninggal setelah berjuang keras melawan penyakit,
Difa sangat terpukul dengan keadaan itu, ditambah lagi dengan ayahnya yang
menjadi jarang pulang dan hingga pada suatu ketika ayahnya pergi dan tak
kembali, keadaan itu membuat Difa semakin terpuruk dan tak bergairah hidup, ia
mengabaikan sekolahnya, ia mulai merokok dan jarang pulang, untunglah neneknya
masih bersedia merawatnya, ia pun tinggal bersama neneknya yang setiap harinya
berdagang bakso keliling dari komplek ke komplek.
Selama tinggal disana Difa tak banyak mengalami perubahan, ia tetap
menjadi pendiam dan pemurung, sekolahnya pun terpaksa berhenti di jalan karena
tak ada lagi yang mampu membiayainya.
Suatu hari neneknya jatuh saat akan berjualan, Difa membawa
neneknya ke kamar dan membaringkannya, seketika ia ingat dengan mendiang
ibunya, ia teringat kata-kata terakhir sang ibu bahwa ibunya ingin melihat ia
sukses, Difa mulai bangkit dari kesedihannya, diwaktu itu juga ia mengambil
alih tugas neneknya untuk berjualan, dengan langkah pasti Difa terus berjalan
mengitari setiap komplek perumahan untuk menjajakan dagangannya, lama kelamaan
ia mulai menikmati aktivitas barunya itu, bahkan setelah neneknya sembuh ia
memutuskan untuk tetap berjualan keliling. Setelah ia mengerti dan mulai mahir
dalam meracik bakso, ia memutuskan untuk membuat lapak sendiri di tepi jalan
raya, dan neneknya kini menjadi asistennya. Sedikit-sedikit ia mulai menabung
dari hasil jerih payahnya sendiri, namun malang ketika ia baru memulai usaha,
lapaknya digusur oleh Satpol PP, barang dan lapaknya disita, ia tak punya
apa-apa lagi, dan ia kini kembali terpuruk. Untunglah nenek satu-satunya ini
selalu ada disaat Difa sedang terpuruk,
neneknya kembali memberi semangat kepada cucu semata wayangnya ini, Difa pun
kembali bangkit, dengan penuh harapan ia kembali membuka kedai bakso dengan modal
dari tabungannya, hidupnya kembali cerah perlahan-lahan usahanya mulai berbuah
manis, keuntungan yang ia dapat dijadikan modal untuk membuat cabang kedai di
daerah sekitarnya.
Usaha yang semakin maju membuat Difa dikenal dan diam-diam ia
menyimpan hati pada seorang pelanggannya, tak perlu tunggu lama ia sudah bisa
berkenalan dengan wanita yang belakangan dipanggil Tya itu, pertemanan mereka
pada awalnya hanya sebatas teman biasa, masih bisa di handle bersama dengan
menjaga kedai baksonya, hingga pada suatu ketika hubungan keduanya mulai serius,
Tya yang ternyata pekerja di warung remang-remang membawa pengaruh buruk kepada
Difa, sekarang Difa menjadi peminum, kedai baksonya terbengkalai, setiap hari ia pergi
berfoya-foya ke tempat hiburan malam, berulang kali neneknya berusaha
menyadarkan Difa, namun Difa lebih menurut kepada ucapan Tya kekasihnya, ia
kini menjadi brutal dan pemabuk berat, kelakuannya itu membuat uang tabungannya
ludes, kedainya pun habis dijual untuk memenuhi hasrat mabuknya, sampai pada
suatu ketika Difa melihat Tya pujaan hatinya
sedang bermesraan dengan pria lain, kejadian itu benar-benar menjadi
tamparan keras bagi Difa, ia sadar selama ini hanya dimanfaatkan oleh orang
yang dia fikir terbaik untuknya. Malang tak dapat dihindari, duri terlanjur
tertancap sudah, Difa menyadari dan menyesali yang telah terjadi selama ini,
dia telah menjual semua kedainya, membentak nenek yang amat menyayanginya dan
selalu ada untuknya, dia bertekat untuk tidak melakukan kesalahan kedua
kalinya, ia serius dalam menekuni usahanya, ia meminta maaf kepada neneknya
atas apa yang telah ia lakukan selama ini. Dia berjanji akan membuat ini semua
kembali seperti sediakala.
Setiap hari Difa terus berfikir bagamana cara membangun ushanya
lagi, secara hartanya telah ludes. “Dif, kalau kamu mau kamu bisa ambil ini,”
ucap neneknya menyerahkan gelang emas miliknya. “tidak usah nek, itu kan
satu-satunya harta nenek lagipula itu peninggalan kakek nek”. Difa tidak enak
setelah kejadian waktu itu, dengan penuh harapan ia melamar mencari pekerjaan
bermodal ijazah SMP ia menyusuri setiap jalan mencari lowongan, sampai pada
akhirnya dia diterima bekerja sebagai pelayan disebuah kedai bakso, disini ia
belajar bagaiaman cara membuat bakso, kaldu dan racikan yang enak. Setelah
beberapa bulan ia memutuskan untuk mandiri dan memulai usahanya lagi. Ditemani
neneknya yang setia mendampingi, ia membuat bakso sediri di rumah dan membuat
kedai seperti dulu, kesabaran dan keuletannya itu membawa buah manis, dalam
waktu 3 bulan ia sudah mampu mendirikan 2 kedai bakso, usahanya terus
berkembang dengan pesat hingga cabangnya hampir ada disetiap kota di Jawa
Tengah.
Kehidupan bahagia, tercukupi, mapan dan bersahaja ia raih bersama
neneknya, mereka sekarang menjadi orang terpandang dan dikenal di masyarakat
luas, sampai pada suati hari ayahnya yang selama ini menghilang tiba-tiba
datang menghampiri mereka, hati Difa berkecamuk, antara kecewa, sedih, marah
dan rindu beradu satu, ia sempat tak mau mengakui bahkan mengusir ayahnya
sendiri, namun neneknya kembali menasihati, ”seperti apapun sifat dan prilaku
ayahmu dia tetap ayahmu, sudah kewajibanmu untuk menghormatinya Dif,” ucapnya
dengan penuh kelembutan, “berat untuk begitu saja melupakan semua yang sudah
dia lakkukan nek, aku kecewa,” raut wajahnya menunjukan kekecawaan yang mendalam.
“maafkan dia nak, hanya dia yang kamu punya saat ini, jangan sampai kau
menyesal untuk kedua kalinya”. Akhirnya dengan penuh ketabahan dan keikhlasan
Difa memboyong ayahnya untuk tinggal bersama dia dan neneknya. Kini lengkap
sudah kebahagiaan Difa, ia pun melanjutkan pendidikannya dengan kejar paket dan
melanjutkan di Univesitas Negeri higga mendapat gelar Sarjana Ekonomi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar