Senin, 01 Februari 2016

contoh cerpen

ini cerpen pertamaku gara2 tugas B.indonesia.. :v
tapi aku seneng, karna jujur aja aku hobby membaca dan menulis..

kritik dan sarannya aku tunggu lohh..
btw makasih udah mau mampirr.. :D



GURIHNYA HIDUP
DALAM SEMANGKUK BAKSO
Karya : Anggi Irma W.

            Surya bangkit dari peraduan, sinarnya merobek kegelapan malam, pertanda telah dimulainya hari baru. Dering beker terdengar menggelegar didalam kamar besar bernuansa biru yang dihiasi ornamen serba bola dengan lambang Madrid. Sebuah tangan menghantam beker itu membuatnya tak lagi berkutik, sekejap pria pemilik tangan itu bangkit dan melenggang ke kamar mandi didalam kamar itu, tak lama ia kemudian menghambur keluar dan langsung menyambar tas yang tergeletak diatas meja kayu dipojok ruangan itu, digandengnya tas itu seraya ia terus melangkah menyusuri lantai menuju sebuah kamar yang didalamnya tergeletak wanita tua yang sedang disuapi wanita paruh baya.
 “Biar saya saja bi yang nyuapin”, tukas pria itu.
“Baik Raden”, ucap perempuan itu seraya menyerahkan semangkuk bubur.
 “Belum berangkat kamu nak? Uhuk.... uhuk.....”
“Belum bu.. Difa mau nemenin ibu dulu.”
Pria yang akrab disapa Difa itu adalah anak tunggal di keluarga yang tergolong kaya raya, ibunya sudah dua tahun ini sakit chepalgia yang membuatnya hanya bisa berbaring di ranjang dan duduk di kursi roda, ayahnya adalah salah seorang pimpinan disalah satu Bank sentral di kota Semarang ini. Difa sendiri dalam 6 hari selama seminggu mengenyam pendidikan di SMA ANAK INDONESIA, ia duduk di kelas 3, ia terkenal siswa yang pandai, rajin dan teladan bagi teman-temannya.

Beberapa minggu ini ibunya semakin parah hingga ia harus dirawat di Rumah Sakit, sejak saat itu Difa tinggal di Rumah Sakit karena Difa tak bisa jauh dari ibunya, dia sangat menyayangi ibunya, ayahnya setip pulang dari kantor pun menjenguk istrinya itu. Penyakit yang menggerogoti tubuh ibunya itu lama-lama semakin parah dan sampai membuat mobil  serta rumah mereka melayang demi membiayai pengobatannya. Difa dan ayahnya  kini tinggal di rumah sederhana di pinggiran kota. Sampai pada suatu hari ibunya tak lagi mampu bertahan, ibunya meninggal setelah berjuang keras melawan penyakit, Difa sangat terpukul dengan keadaan itu, ditambah lagi dengan ayahnya yang menjadi jarang pulang dan hingga pada suatu ketika ayahnya pergi dan tak kembali, keadaan itu membuat Difa semakin terpuruk dan tak bergairah hidup, ia mengabaikan sekolahnya, ia mulai merokok dan jarang pulang, untunglah neneknya masih bersedia merawatnya, ia pun tinggal bersama neneknya yang setiap harinya berdagang bakso keliling dari komplek ke komplek.
Selama tinggal disana Difa tak banyak mengalami perubahan, ia tetap menjadi pendiam dan pemurung, sekolahnya pun terpaksa berhenti di jalan karena tak ada lagi yang mampu membiayainya.
Suatu hari neneknya jatuh saat akan berjualan, Difa membawa neneknya ke kamar dan membaringkannya, seketika ia ingat dengan mendiang ibunya, ia teringat kata-kata terakhir sang ibu bahwa ibunya ingin melihat ia sukses, Difa mulai bangkit dari kesedihannya, diwaktu itu juga ia mengambil alih tugas neneknya untuk berjualan, dengan langkah pasti Difa terus berjalan mengitari setiap komplek perumahan untuk menjajakan dagangannya, lama kelamaan ia mulai menikmati aktivitas barunya itu, bahkan setelah neneknya sembuh ia memutuskan untuk tetap berjualan keliling. Setelah ia mengerti dan mulai mahir dalam meracik bakso, ia memutuskan untuk membuat lapak sendiri di tepi jalan raya, dan neneknya kini menjadi asistennya. Sedikit-sedikit ia mulai menabung dari hasil jerih payahnya sendiri, namun malang ketika ia baru memulai usaha, lapaknya digusur oleh Satpol PP, barang dan lapaknya disita, ia tak punya apa-apa lagi, dan ia kini kembali terpuruk. Untunglah nenek satu-satunya ini selalu ada disaat Difa sedang  terpuruk, neneknya kembali memberi semangat kepada cucu semata wayangnya ini, Difa pun kembali bangkit, dengan penuh harapan ia kembali membuka kedai bakso dengan modal dari tabungannya, hidupnya kembali cerah perlahan-lahan usahanya mulai berbuah manis, keuntungan yang ia dapat dijadikan modal untuk membuat cabang kedai di daerah sekitarnya.

Usaha yang semakin maju membuat Difa dikenal dan diam-diam ia menyimpan hati pada seorang pelanggannya, tak perlu tunggu lama ia sudah bisa berkenalan dengan wanita yang belakangan dipanggil Tya itu, pertemanan mereka pada awalnya hanya sebatas teman biasa, masih bisa di handle bersama dengan menjaga kedai baksonya, hingga pada suatu ketika hubungan keduanya mulai serius, Tya yang ternyata pekerja di warung remang-remang membawa pengaruh buruk kepada Difa, sekarang Difa menjadi peminum, kedai baksonya  terbengkalai, setiap hari ia pergi berfoya-foya ke tempat hiburan malam, berulang kali neneknya berusaha menyadarkan Difa, namun Difa lebih menurut kepada ucapan Tya kekasihnya, ia kini menjadi brutal dan pemabuk berat, kelakuannya itu membuat uang tabungannya ludes, kedainya pun habis dijual untuk memenuhi hasrat mabuknya, sampai pada suatu ketika Difa melihat Tya pujaan hatinya  sedang bermesraan dengan pria lain, kejadian itu benar-benar menjadi tamparan keras bagi Difa, ia sadar selama ini hanya dimanfaatkan oleh orang yang dia fikir terbaik untuknya. Malang tak dapat dihindari, duri terlanjur tertancap sudah, Difa menyadari dan menyesali yang telah terjadi selama ini, dia telah menjual semua kedainya, membentak nenek yang amat menyayanginya dan selalu ada untuknya, dia bertekat untuk tidak melakukan kesalahan kedua kalinya, ia serius dalam menekuni usahanya, ia meminta maaf kepada neneknya atas apa yang telah ia lakukan selama ini. Dia berjanji akan membuat ini semua kembali seperti sediakala.

Setiap hari Difa terus berfikir bagamana cara membangun ushanya lagi, secara hartanya telah ludes. “Dif, kalau kamu mau kamu bisa ambil ini,” ucap neneknya menyerahkan gelang emas miliknya. “tidak usah nek, itu kan satu-satunya harta nenek lagipula itu peninggalan kakek nek”. Difa tidak enak setelah kejadian waktu itu, dengan penuh harapan ia melamar mencari pekerjaan bermodal ijazah SMP ia menyusuri setiap jalan mencari lowongan, sampai pada akhirnya dia diterima bekerja sebagai pelayan disebuah kedai bakso, disini ia belajar bagaiaman cara membuat bakso, kaldu dan racikan yang enak. Setelah beberapa bulan ia memutuskan untuk mandiri dan memulai usahanya lagi. Ditemani neneknya yang setia mendampingi, ia membuat bakso sediri di rumah dan membuat kedai seperti dulu, kesabaran dan keuletannya itu membawa buah manis, dalam waktu 3 bulan ia sudah mampu mendirikan 2 kedai bakso, usahanya terus berkembang dengan pesat hingga cabangnya hampir ada disetiap kota di Jawa Tengah.

Kehidupan bahagia, tercukupi, mapan dan bersahaja ia raih bersama neneknya, mereka sekarang menjadi orang terpandang dan dikenal di masyarakat luas, sampai pada suati hari ayahnya yang selama ini menghilang tiba-tiba datang menghampiri mereka, hati Difa berkecamuk, antara kecewa, sedih, marah dan rindu beradu satu, ia sempat tak mau mengakui bahkan mengusir ayahnya sendiri, namun neneknya kembali menasihati, ”seperti apapun sifat dan prilaku ayahmu dia tetap ayahmu, sudah kewajibanmu untuk menghormatinya Dif,” ucapnya dengan penuh kelembutan, “berat untuk begitu saja melupakan semua yang sudah dia lakkukan nek, aku kecewa,” raut wajahnya menunjukan kekecawaan yang mendalam. “maafkan dia nak, hanya dia yang kamu punya saat ini, jangan sampai kau menyesal untuk kedua kalinya”. Akhirnya dengan penuh ketabahan dan keikhlasan Difa memboyong ayahnya untuk tinggal bersama dia dan neneknya. Kini lengkap sudah kebahagiaan Difa, ia pun melanjutkan pendidikannya dengan kejar paket dan melanjutkan di Univesitas Negeri higga mendapat gelar Sarjana Ekonomi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar